Petani Sawit, Para Penakluk Lahan Gambut

Seorang petugas sedang memantau kondisi tinggi muka air di kebun sawit milik anggota Koperasi Sawit Jaya Kecamatan Mempura Kabupaten Siak, dengan menggunakan alat sederhana “piezometer”, Sabtu (17/4). (credit tittle : Zulfa Amira)

Oleh : Jon Afrizal dan Zulfa Amira

Lahan gambut adalah tantangan bagi para petani sawit di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Areal di pesisir yang telah terlanjur rusak oleh sistem kanalisasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Namun, permasalahan bagaimana lahan gambut harus dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan pun harus terjawab. Sebab, selain bicara soal penghasilan hari ini, keterbatasan lahan sudah semestinya bukan persoalan bagi mereka yang kreatif.

Ini yang dilakukan para petani yang tergabung di Koperasi Sawit Jaya, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak.

Setelah hampir empat tahun menggunakan berbagai metoda, akhirnya mereka pun dapat memperbaiki lahan gambut tempat mereka berkebun sawit.

“Kanal-kanal yang telah ada kami ubah sebagai embung penampungan air. Sehingga kebasahan gambut tetap terjaga,” kata Sutrisno, Ketua Koperasi Sawit Jaya, di akhir Mei lalu.

Kebasahan gambut tetap terjaga, yakni dengan tinggi muka air minimal 3 centimeter. Pola ini menepis anggapan bahwa berkebun sawit di areal perkebunan sawit harus dilakukan dengan kanalisasi agar lahan menjadi kering dan berkurang keasamannya.

“Itu semua seolah hanya mitos saja saat ini,” katanya.

Dengan kebasahan gambut yang tetap terkontrol, maka karhutla dapat dicegah. Bahkan, katanya, nihil kebakaran.

Menurut laman sipongi.menlhk.go.id, Provinsi Riau cenderung rawan kasus karhutla. Perluasan lahan sawit kerap dianggap sebagai faktor penyebab karhutla.

Pada tahun 2015, seluas 183.809 hektare areal lahan terbakar. Tapi menurun menjadi 108.110 hektare pada tahun 2019.

Jika pun terjadi, meskipun para petani tidak berharap, kanal yang telah diubah menjadi embung penampungan air pun dapat digunakan untuk memadamkan api.

Sebab, persoalan utama pemadaman karhutla adalah tersedianya sumber air yang dapat dijangkau dengan cepat.

Dengan pola kanalisasi, kecenderungsn terbakar cukup tinggi. Sebab lahan gambut yang mirip seperti spon itu terus mengering.

Terlebih karhutla terjadi di puncak panen sawit, yakni antara bulan Agustus hingga September. Jelas saja para petani akan merugi.

Kanal-kanal itu umumnya memiliki lebar 3 hingga 4 meter dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Kanal-kanal itu seolah mengelilingi kebun-kebun milik 130-an anggota koperasi.

Setiap anggota memiliki luasan kebun minimal 2 hektare. Kebun-kebun itu telah mereka garap selama 10 tahun tanam.

“Lahan ini kami dapat dari program pemerintah daerah,” kata Joko, seorang pengurus Koperasi Sawit Jaya.

Mereka telah pula meninggalkan tata cara bertani di masa lalu. Umumnya, para petani tidak berpikir soal efesiensi penggunaan pupuk kimia.

Joko mengatakan para petani menggunakan pupuk NPK sebanyak 1 kilogram per satu pohon selama enam bulan per dua hektare. Setiap satu hektare memiliki sebanyak 128 pohon sawit.

Lalu ditambah dengan pupuk organik. Yakni campuran dari tandan buah sawit (tangkos), kotoran kandang sapi dan kotoran ayam.

Untuk pupuk, diperkirakan setiap petani mengeluarkan biaya total Rp 2 juta per enam bulan per dua hektare. Ini adalah biaya yang lebih murah jika dibanding dengan cara lama mereka, yakni menggunakan pupuk sesuka hati.

“Cara ini dapat menghemat hingga Rp 1 juta per enam bulan per dua hektare,” katanya.

Selain berkurangnya biaya untuk pupuk, tata cara ini membuat panenan tandan buah segar (TBS) menjadi bertambah. Sebelumnya, panen mereka adalah kurang dari 1 ton per 10 hari. Tapi sekarang, panenan adalah di atas 1 ton per 10 hari.

Meskipun, senyatanya, Profesor Suria Darma Tarigan, peneliti senior dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik hanya berfungsi untuk menambah unsur hara pada pohon sawit. Namun tidak terlalu banyak pengaruhnya untuk memperbaiki keberlanjutan lahan gambut yang telah ada kanalisasi.

“Butuh terobosan baru dari pekebun untuk perbaikan areal gambut yang telah cenderung rusak karena kanalisasi,” katanya.

Kendati demikian, pada satu penelitiannya terkait lahan gambut di Kabupaten Siak, menyebutkan bahwa lahan gambut akan berada dalam kondisi basah di bulan April hingga Juni.

“Budidaya sawit di lahan gambut meningkatkan kepadatan gambut dan resapan air, juga mempertahankan kelembaban gambut, sehingga mengurangi gambut dari kecenderungan kebakaran,” katanya pada penelitian itu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya petani sawit dengan mengubah kanal-kanal menjadi embung penampungan air juga bermanfaat bagi pohon-pohon sawit mereka.

Jikalahari, sebuah Non Government Organization (NGO) peduli lingkungan menyebutkan bahwa Provinsi Riau memiliki 4,044 juta hektare areal gambut, atau 45 persen dari luas daratan Provinsi Riau. Sementara Kabupaten Siak memiliki 503.669 hektare areal gambut.

Jika diperbandingkan dengan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada tahun 2019, perkebunan sawit di Kabupaten Siak adalah seluas 232,917 hektare, atau sekitar 50 persen dari total luasan gambut di kabupaten itu.

Masih menurut data dari dinas itu, total produksi perkebunan sawit di Kabupaten Siak adalah 4.53,637 ton per tahun.

Dengan sekitar 114,962 keluarga yang menggantungkan hidup dari berkebun sawit, maka harus ada upaya untuk terus memperbaiki kondisi perkebunan sawit di sana.

Adalah World Research Institute (WRI) Indonesia wilayah Riau yang telah mendampingi para petani sawit di sana sejak hampir empat tahun ini. Tujuannya adalah untuk memperbaikinya keterlanjuran rusaknya areal gambut akibat sistem kanalisasi dan karhutla.

“Kami mencari solusi terhadap persoalan ini dari para petani, berdasarkan pengalaman mereka di kebun sawit,” kata Syahredo dari WRI Indonesia wilayah Riau.

Sebab, katanya, jika kerusakan lahan gambut dapat diperbaiki, maka kebun sawit milik petani ini pun dapat digunakan secara berkelanjutan.

Kondisi kanal di sekitar kebun sawit milik anggota Koperasi Sawit Jaya. Kanal itu kini telah diubah menjadi embung penampungan air. Photo diambil Sabtu (17/4). (credit tittle : Zulfa Amira)

Selain menggali pengalaman para petani, pihaknya pun berkerjasama dengan banyak peneliti dari berbagai universitas di dalam dan luar negeri. Lalu, digunakanlah alat sederhana bernama piezometer. Kegunaan alat ini adalah untuk mengukur tinggi muka air, agar tetap di posisi 3 centimeter.

“Alat ini berhubungan dengan kanal yang telah dirubah fungsi menjadi embung penampungan air. Sehingga tinggi muka air tetap terjaga,” katanya.

Alat ini adalah pipa paralon yang ditanam di lahan gambut dengan kedalaman di atas 4 meter. Lalu, digunakan sebuah tongkat kayu yang telah ditandai dalam hitungan centimeter, yang dimasukkan ke dalam pipa paralon untuk mengukur tinggi muka air.

“Alat ini dapat digunakan oleh petani, meski mereka tidak seorang ahli fisika sekalipun,” katanya.

Seorang pengurus Koperasi Sawit Jaya yang lain, Afif M Nurdin mengatasi, bahwa sebagai petani sawit mandiri, tentunya mereka harus berupaya agar kebun mereka tetap terjaga.

“Dengan areal kebun yang baik, kami berharap berkebun dan tetap berpenghasilan setiap panenan,” katanya. ***

Menampilkan Gambar dengan HTML gambar