Menampilkan Gambar dengan HTML gambar

KPU Divonis Bersalah, DCT Didesak Untuk Direvisi Karena Tak Penuhi Syarat UU

JAKARTA, AmiraRiau.com- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI didesak untuk memberi kesempatan partai politik merevisi Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR RI pada daerah pemilihan (dapil) yang tak memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan, sebagai tindak lanjut putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Sebelumnya, Bawaslu RI menyatakan KPU RI melakukan pelanggaran administrasi atas tidak tercapainya target afirmasi 30 persen caleg perempuan dalam 267 DCT anggota DPR RI 2024-2029 dari 17 partai politik.

“Putusan Bawaslu memang tidak tersurat memerintahkan koreksi atas 267 DCT Pemilu DPR Tahun 2024. Namun, prinsipnya ada pelanggaran prosedur soal pencalonan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” kata salah satu pemohon, Titi Anggraini, kepada Kompas.com pada Kamis (30/11/2023).

Ia menegaskan, syarat afirmasi itu merupakan syarat pengajuan bakal caleg oleh partai politik, sebagaimana termuat dalam Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Analoginya mirip dengan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.

Jika calon presiden dan wakil presiden diusung partai politik yang tak memenuhi ambang batas, maka pengajuannya ditolak dan kandidat itu tak bisa berkontestasi. “Karena prosedur terbukti melanggar Pasal 245 UU 7/2017, maka menetapkan hasil yang melanggar adalah tindakan melawan hukum dan tidak sah,” ujar Titi.

“Sesuatu yang melanggar prosedur pengajuan daftar calon artinya tidak bisa dilanjutkan penetapannya karena melanggar basis fundamental untuk bisa ditetapkan sebagai daftar calon di pemilu, yaitu memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” jelasnya.

Titi menjelaskan, jika DCT yang bermasalah itu tak direvisi KPU, maka hasil Pileg 2024 bisa dipersoalkan konstitusionalitasnya. Doktor hukum pemilu Universitas Indonesia itu menyampaikan, metode revisi DCT yang kekurangan jumlah caleg perempuan itu bisa dilakukan dengan mengurangi caleg, sehingga terpenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Apapun risiko dan kemungkinan buruk yang dihadapi karena langkah revisi itu, seperti pengajuan sengketa dari caleg yang terpaksa ditendang demi memenuhi porsi keterwakilan perempuan, menurut Titi, KPU harus menghadapinya.

“Ini kan konsekuensi karena KPU memaksa menetapkan DCT yang melanggar undang-undang,” kata dia. Tanpa revisi, masalah di kemudian hari akan membayang setelah pemilu beres, yaitu peluang munculnya banjir sengketa.

“Keterpilihan caleg dari DCT yang melanggar ketentuan persyaratan pengajuan calon, punya potensi digugat. Di Pilkada kan MK juga sangat tegas pada pemenuhan persyaratan,” ujar Titi.

“Misalnya saja Pilkada Sabu Raijua dimana hasil pilkada dibatalkan karena calon melanggar persyaratan kewarganegaraan. Demikian pula di Boven Digoel, pilkada diulang karena calon belum menuntaskan masa jeda sebagai mantan terpidana,” jelasnya.

Sementara itu, KPU RI akan menggelar rapat pleno untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu.

“Kami akan pelajari salinan putusan lengkapnya, putusannya kita pelajari, kita tindaklanjuti yang harus ditindaklanjuti,” kata Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan KPU RI, Mochammad Afifuddin, Rabu (29/11/2023).

KPU mengaku belum dapat memastikan apakah pihaknya bakal melakukan revisi atas aturan pencalegan yang menyangkut keterwakilan caleg perempuan, yaitu Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Peraturan ini, yang mengatur metode pembulatan ke bawah hitungam 30 persen keterwakilan perempuan, sebelumnya sudah dinyatakan melanggar UU Pemilu oleh Mahkamah Agung (MA) pada 29 Agustus lalu, tetapi tak kunjung direvisi KPU.

“Nanti kan tindak lanjutnya nanti. Saya kan harus laporan dulu, ini hasil sidangnya, ini putusannya, kita harus memperbaiki mana yang harus diperbaiki,” ujar pria yang akrab disapa Afif itu. Namun demikian, Afif menyatakan bahwa tahapan Pemilu 2024 tidak boleh terganggu.

Sementara itu, salah satu pemohon dalam perkara ini, Titi Anggraini, menyampaikan bahwa putusan pelanggaran tersebut harus membuat KPU mengoreksi daftar calon tetap (DCT) di dapil-dapil yang tak memenuhi 30 persen keterwakilan caleg perempuan. Ia menyinggung, ketentuan minimal 30 persen caleg perempuan ini adalah syarat partai politik ikut serta dalam pemilu legislatif di dapil itu.

Sehingga, ketika ketentuan itu tak dipenuhi di suatu dapil, seharusnya partai politik tersebut tak berhak berkontestasi di dapil tersebut. Sebelumnya diberitakan, Bawaslu menilai KPU RI lambat dalam merepons Putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 yang menyatakan penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan dengan metode pembulatan ke bawah melanggar UU Pemilu.

Putusan itu sudah terbit sejak 29 Agustus 2023, namun KPU hanya menyurati partai-partai politik untuk mematuhi putusan itu, tanpa melakukan perbaikan atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023) tentang pencalegan.

“Memerintahkan kepada Terlapor untuk melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pada tahapan pencalonan anggota DPR dengan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/HUM/2023 dan Surat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 tanggal 23 Oktober 2023,” tambahnya.

Bawaslu juga memberi teguran kepada KPU RI untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar perundang-undangan. “Majelis pemeriksa menilai tindakan terlapor sudah terlambat dan membuktikan terlapor tidak memiliki komitmen dan keseriusan melaksanakan putusan Mahkamah Agung,” kata anggota majelis pemeriksa, Herwyn Malonda, membacakan bagian pertimbangan putusan.

Keterlambatan tersebut, lanjutnya, mengakibatkan ketidaksiapan partai politik peserta pemilu guna melakukan perbaikan daftar bakal calon untuk memenuhi target keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). Terbukti, pada daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI yang ditetapkan KPU RI per 3 November, ada 267 DCT dari 17 partai politik yang jumlah caleg perempuannya di bawah 30 persen.

Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal 245 UU Pemilu, PKPU 10/2023, dan putusan MA, bahwa afirmasi caleg perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Di samping itu, Bawaslu juga menyoroti tindakan KPU RI yang justru mengajukan permintaan fatwa kepada MA yang meminta agar putusan MA itu baru diberlakukan pada Pemilu 2029.

MA kemudian merespons melalui Surat Wakil Ketua MA yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan hasil uji materi MA dilaksanakan KPU selaku Termohon sendiri–akan dilaksanakan pada pemilu tahun 2024, atau pemilu selanjutnya, bukan ada di ranah MA lagi, namun wewenang KPU.

“Terlapor seharusnya segera menentukan sikap terkait waktu pelaksanaan putusan MA apakah dilaksanakan pada Pemilu 2024 atau pemilu selanjutnya,” kata Herwyn.

“Menimbang ketidakjelasan sikap Terlapor pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Sikap terlapor menunjukkan pengingkaran keadilan perempuan sebagaimana adagium hukum, justice delayed is justice denied, keadilan yang tertunda sama saja dengan meningkari keadilan itu sendiri,” tambahnya.

Herwyn menyatakan, semua ketentuan di atas adalah bagian dari tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan pelaksanaan pencalonan anggota DPR. “Maka majelis pemeriksa berpendapat tindkaan terlapor yang tidak menindaklanjuti Putusan MA 24/HUM/2023 dalam proses pencalonan merupakan pelanggaran administrasi pemilu ketentuan Pasal 460 (1) UU Pemilu,” pungkasnya.***

Menampilkan Gambar dengan HTML gambar