Dua Bayi Orang Utan di Riau Tewas Diduga Ditembak

PEKANBARU, AMIRARIAU.COM-Dua dari tiga bayi orang utan yang merupakan korban perdagangan hewan yang berhasil diungkap Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau dikabarkan mati. Bayi bernama Raja dan Sultan mati di Sumatran orang utan Conservation Program (SOCP). Sedangkan satu bayi lain, Dara kondisinya masih memprihatinkan karena ada 5 peluru bersarang di kakinya.

Drh Yeni Sari dari SOCP mengatakan penyebab kematian Sultan karena ada peluru di bagian hidung yang berdekatan dengan mata. Sedangkan penyebab kematian Raja belum diketahui, dan masih menunggu hasil laboratorium.

”Penyebab kematian Sultan akibat adanya peluru pada bagian hidung yang berdekatan dengan mata. Sedangkan kematian Raja masih belum diketahui penyebabnya, karena menunggu hasil pemeriksaan laboratorium matinya dua satwa dari tiga tersebut,” kata Yeni, Kamis (25/2), sebagaimana dilansir merdeka.com.

Dia menduga kematian Raja bisa saja disebabkan karena penyakit menular dari manusia. Apalagi saat diserahkan ke SCOP, kondisi satwa itu dalam kondisi stres karena menempuh perjalanan panjang dari Aceh ke Riau sehingga mempengaruhi imunitas.

Yeni menjelaskan, bayi orang utan bernama Raja mati pada Desember 2015 saat berumur delapan bulan, sedangkan Sultan pada Januari lalu saat berumur 10 bulan. Untuk Dara, masih ada lima sarang di kakinya.

Peluru itu, katanya, baru dapat dikeluarkan ketika umur Dara mencapai usia tiga hingga empat tahun. Sedangkan saat ini usianya akan mencapai 1 tahun.

”Kalau kondisi Dara, bayi orang utan tertua korban traficking itu saat ini dalam kondisi sehat. Namun hingga kini masih ada lima peluru yang bersarang di kedua kakinya. Tiga di kaki kiri dan dua di kaki kanan,” jelasnya.

Sementara itu, dalam sidang lanjutan dengan tiga terdakwa perdagangan hewan asal Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yakni Ali Ahmad, Awaludin dan Khairi Roza, JPU Ermindawati menghadirkan seorang saksi ahli dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam(BBKSDA) Riau, Muslino.

Dalam kesaksiannya, Muslino yang merupakan polisi Hutan tersebut menjelaskan bahwa Orang Utan merupakan salah satu satwa yang dilindungi dan tidak dapat diperdagangkan secara bebas.

”Masyarakat umum tidak diperbolehkan membawa satwa itu secara sembarangan. Apalagi diangkut menggunakan mobil dengan menggunakan keranjang yang ditumpuk secara tidak layak,” ujar Muslino kepada majelis hakim yang diketuai oleh hakim Ahmad Pudjo Harsoyo.

Ketiga terdakwa yang disidang tanpa pengacara itu saat memberikan kepada majelis. Mereka mengatakan bahwa ketiga bayi orang utan yang mereka bawa dari Aceh itu merupakan pesanan dari seorang warga asal Sorek, Pelalawan bernama Ridwan.

Ketiganya mengaku dijanjikan uang sebesar Rp 45 juta untuk ketiga orangutan itu. Namun sebelum transaksi dilakukan, ketiganya justru diringkus polisi.

Terdakwa Ali Ahmad di hadapan hakim mengatakan, dia memperoleh tiga ekor anak orang utan yang hendak dijual ke Riau dari seseorang di Aceh Tamiang, bernama Tamsi.

”Tamsi menawarkan dia punya banyak anak monyet (orang utan),” ujar Ali menjawab pertanyaan hakim anggota, Sorta Ria.

Terdakwa lainnya, Awaludin memanfaatkan hal itu. Mendapat tawaran dari rekannya di Air Molek, Indragiri Hulu, Provinsi Riau Awaludin langsung menyetujui untuk mencari anak orang utan dengan menghubungi Ali Ahmad.

Pemesan orang utan tersebut diketahui bernama Ridwan yang menghubungi Awaludin untuk memesan anak orangutan dengan menetapkan harga jual per ekor Rp 15 Juta.

”Ridwan orang aceh, kenal di sana (Aceh). Ridwan sering nyari satwa langka. Dia yang menentukan harga, Rp 15 Juta per ekor,” ungkap Awaluddin.

Dalam perkara ini, ketiganya didakwa Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf a undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan JPU. (ee)

(f: merdeka.com)

Menampilkan Gambar dengan HTML gambar