Oleh
Hasrul Sani Siregar, MA
Alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS, UKM, Malaysia
ADA fenomena menarik untuk dilihat dan diamati dalam perspektif ekonomi-politik di negara-negara Asia Tenggara khususnya ASEAN dalam proses transisi pemerintahan. Dinasti dalam pemerintahan masih menjadi hal yang dominan di beberapa negara ASEAN. Yang terbaru dapat dilihat naiknya kepemimpinan dinasti Shinawatra yaitu anak bungsu Thaksin Shinawatra yang bernama Paetongtarn Shinawatra menjadi Perdana Menteri Thailand. Pengangkatan perempuan berusia 37 tahun tersebut menggantikan Perdana Menteri Srettha Thavisin yang diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand disebabkan oleh menyalahi konstitusi yang mengangkat bekas narapidana sebagai menterinya. Seperti diketahui, Paetongtarn adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yaitu Thaksin Shinawatra.
Seperti diketahui bahwa pada 19 September 2006 telah terjadi kudeta yang dilakukan oleh militer Thailand terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Dinasti Shinawatra masih terus berkuasa yang sebelumnya juga dipimpin oleh Dinasti Shinawatra. Saudara ipar Thaksin, Somchai Wongsawat sebelumnya juga menjadi Perdana Menteri Thailand tahun 2008. Kemudian dinasti Shinawatra dipimpin oleh adik perempuan Thaksin Shinawatra yaitu Yingluck Shinawatra yang menjadi Perdana Menteri pada tahun 2011 hingga tahun 2014.
Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra menjadi perempuan kedua yang menjadi Perdana Menteri Thailand setelah Yingluck Shinawatra menjadi Perdana Menteri. Paetongtarn Shinawatra yang menjadi Perdana Menteri Thailand bukanlah dari kalangan pemerintahan. Masalah ekonomi, politik dan stabilitas politik menjadi tugas utama dari Perdana Menteri Thailand tersebut. Maslaah kudeta militer dan intervensi pengadilan menjadi tugas yang berat bagi Paetangtarn yang empat pemerintahan sebelumnya menjadi persoalan dalam kehidupan politik di Thailand.
Thailand dikenal sebagai negara yang sering mengalami kudeta militer juga dengan negara Myanmar. Sejarah mencatat, sejak tahun 1932, Thailand terus mengalami kudeta militer atas pemerintahan sipil. Ketidakstabilan politik dan ekonomi selalu menjadi dasar keterlibatan militer untuk melakukan kudeta atas pemerintahan sipil yang sah secara konstitusional. Apa yang terjadi di Thailand memperlihatkan bagaimana militer sewaktu-waktu dapat melakukan dan penggulingan pemerintahan sipil yang sah dengan dalih pemulihan keadaan yang tidak stabil, namun dampaknya terhadap iklim politik dan demokratisasi. Oleh karena itu, kudeta militer yang terjadi di Thailand merupakan akumulasi kekecewaan dan frustasi dari kalangan militer sendiri terhadap persoalan politik dan keamanan dalam negeri Thailand.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, Thailand telah mengalami dua kali kudeta militer terhadap dinasti Shinawatra. Pertama, pada 19 September 2006, terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang mendapat dukungan oleh raja Thailand yang menjadi simbol negara. Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dipilih oleh rakyat secara demokratis dalam pemilihan umum yang juga mendapat pantauan dari dunia internasional. Ketidakpuasan di dalam negeri atas kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, militer melakukan kudeta militer ketika Thaksin Shinawatra berada di luar negeri. Walau bagaimanapun dan apapun alasannya, kudeta militer yang telah dilakukan oleh militer tersebut tidak dapat diterima sebab pemilihan perdana menteri dilakukan dengan demokratis. Kudeta militer yang terjadi telah merusak tatanan pemerintahan sipil yang selalu menjunjung tinggi demokrasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedua; kudeta militer yang dilakukan pada 22 Mei 2014 oleh pimpinan Angkatan Darat, Jenderal Prayuth Chan-ocha terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yingluch Shinawatra yang merupakan adik perempuan Thaksin Shinawatra. Dengan kudeta militer tersebut, membuktikan sekali lagi bahwa militer sangat dominan untuk mengintervensi dan mengontrol pemerintahan sipil. Sewaktu-waktu militer siap untuk menggulingkan pemerintahan sipil yang dianggap oleh militer bahwa pemerintahan sipil tidak dapat mengontrol keadaaan dalam hal menjaga stabilitas dan ketentraman negara.
Dampak dari kudeta militer tersebut tidak saja menjadikan Thailand mundur dalam hal demokrasi, juga akan berdampak terhadap perekonomian negara tersebut. Para investor tentu akan berpikir ulang untuk melakukan investasi ke negara tersebut, juga di sektor pariwisata tentu akan berpengaruh secara langsung terhadap jumlah kunjungan wisatawan yang akan berkunjung ke negara tersebut. Mengutif pendapatnya Mantan menteri Luar negeri Thailand, Surin Pitsuwan yang mengatakan bahwa raktis penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi mengalami kemunduran dan kebebasan rakyat terbatas.
Di Filipina juga terjadi Dinasti Marcos yang masih cukup kuat dipengaruhi oleh bapaknya yaitu Ferdinad Marcos. Naiknya Bongbong Marcos Jr tak terlepas juga pengaruh bapaknya yang menjadi presiden Filipina yang cukup lama memerintah. Di Kamboja juga dipengaruhi oleh peran bapaknya sebagai Perdana Menteri Kamboja. Hun Manet menggantikan bapaknya Hun Sen sebagai perdana menteri yang juga cukup lama memerintah Kamboja. Hun Manet adalah seorang politisi dan tentara asal Kamboja. Hun Manet sudah dipersiapkan dan diwariskan untuk meneruskan jabatan pengganti bapaknya sebagai perdana menteri Kamboja. Tentu dinamika politik yang terjadi tersebut merupakan hal yang wajar saja terjadi.***