PEKANBARU- Masyarakat Adat Melayu Riau, khususnya melayu Kepuluan Riau, menjadi korban ambisi penguasa dengan dalih pembangunan nasional. Aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan Kepolisian menjadi alat negara untuk melancarkan ambisi pembangunan Kawasan Rempang Eco-City yang harus menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834.
Hari ini sekitar pukul 10, aparat keamanan memicu bentrokan dengan memaksa masuk untuk melakukan pemasangan Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi.
Baca Juga: BP Batam Berkomitmen tak Memindahkan Tanpa Persiapan Maksimal
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Melayu (AMA) Riau Laksamana Heri, menyatakan sikap menolak serta menyesalkan perlakuan aparat yang dianggap telah melakukan tindakan refresif Kepada masyarakat Adat Rempang.
Heri mengatakan, sedari awal tujuan kegiatan tersebut merelokasi atau menggusur warga dari tanah adatnya, maka seharusnya aparat dan BP Batam tahu kegiatan ini pasti mendapat penolakan.
Baca Juga: ISESS Minta Pemerintah Bentuk Tim Soal Bentrok Petugas dan Warga Rempang
Kegiatan ini merupakan pemantik bentrokan yang mengakibatkan paling tidak 6 orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak kecil mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata, Situasi pecah dan membuat teriakan ketakutan anak-anak dimana-mana.
“Keberpihakan pemerintah dipertanyakan dalam hal ini, dimana bukti pemerintah sebagai pelayan Masyarakat, yang terjadi justru sebagai penguasa dzalim dan brutal,” tegas Heri dalam keterangan persnya, Jumat (8/9/2023) pagi.
Baca Juga: DPP LLMB Tolak Relokasi Pulau Rempang Batam, Panglima Pucuk: Kami Siap Jika Dibutuhkan
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengakui bentrokan antara aparat gabungan keamanan dengan warga di Pulau Rempang, Batam, terkait dengan upaya untuk ‘menggusur’ warga setempat. Kapolri mengatakan, terjadi penolakan dari warga setempat untuk dipindahkan ke pemukiman lain, karena kawasan tersebut masuk dalam zona industrialisasi baru BP Batam.
“Di sana (Pulau Rempang) ada kegiatan terkait dengan pembebasan, atau mengembalikan lahan milik otoritas Batam yang dikuasai beberapa kelompok masyarakat,” kata Sigit di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Menurut Kapolri karena ada situasi penguasaan kawasan yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut, kata dia, Polri, bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi pihak terakhir yang diandalkan oleh BP Batam untuk pelaksanaan penguasaan kembali kawasan tersebut.
Sebelumnya, Gabungan 78 Lembaga Swadaya Masyarakat, mengecam keras sikap brutal aparat kepolisian bersama militer dari Angkatan Laut (AL) dalam mengatasi krisis keamanan di Pulau Rempang. Pada Kamis (7/9/2023) dilaporkan, aksi penolakan penggusuran warga Pulau Rempang oleh BP Batam dengan memanfaatkan Polri dan TNI sebagai ‘tukang pukul’, berujung pada bentrokan.
Enam warga dilaporkan ditangkap, dan puluhan masyarakat setempat, mengalami luka-luka akibat serbuan gas air mata. Anak-anak sekolah, yang sedang berada di kelas-kelas belajar, pun terpaksa dibubarkan paksa lantaran serbuan gas air mata petugas gabungan.(rls)***